Senin, 14 Februari 2011

Musafir

*untuk siapa pun yang tengah meraya bahagia, apalah itu valentine, di antara ribuan jiwa-jiwa sepi yang masih menadah segenggam cinta. Ya! Hanya sejumput kecil. Tak perlu banyak. Karena selebihnya sudah tersimpan lama di dada tanpa tahu pemiliknya.

Aku sang pengembara. Meretas batas dan absurditas hakiki. Bangun dan
berdiri sendiri dengan kaki-kaki kecil yang mungkin saja suatu waktu rapuh
lalu lunglai luluh lantak. Tak peduli kejam gerigi jalanan.
Kau lihatkah? Garis kaki langit masih sangat jauh dalam selayang pandang.
Jutaan tragedi bisa saja terjadi kapan Ia mau. Kunfayakun itu hukum pasti. Hak paten yang terpatri sempurna.

Akulah si tukang potret. Hanya mengambil gambar diri. Satu-satu di tiap tapak tempuh.
Menunggu pasrah malaikat maut mencetaknya pada tarian
lembar buku dosa. Seumpama aku alpa. Ia lebih tahu bahkan dari sekedar yang aku tahu.

Lalu aku membayangkan, kelak, pada suatu masa, kembara terhenti. Ke’aku’anku lenyap. Demi dewa-dewi yang Agung, nyanyikanlah tembang kedamaian di pusaraku. Mengenang gairah hidup sang musafir kata. Aku.

Setengah perjalanan pulang, 17:00 pm

Selasa, 08 Februari 2011

Kiriman Sajak




(i)                  HIDUP adalah buku, kita tak tahu judul dan jumlah halamannya, kita menulis seperhalaman, menulis dengung jadi lagu.

(ii)                HAI, Gogh! Aku bawakan kanvas yang luka. Kau, lukiskan saja di situ setengah malam kita, dengan cat hitam yang encer saja!


 Ps:  dua diantara banyak sajak yang belum sempat saya cari dari ribuan mention di twitter, dimana bung Haspahani sempat membuatkan sajak untuk saya setelah saya mengirim #SatuKata padanya.



Jumat, 04 Februari 2011

SEKEDAR

        *El

Maafku. Enggan menemani sekedar ajakan yg kau kirim lewat sebuah pesan sederhana. Aku takut, takut merasa hal sama.

Kelu pun bahagia, dalam satu waktu. Sakit, menahan rindu meletup-letup seperti popcorn di wajan panas. Aku bisa apa? Parasmu saja aku lupa.

Ingatkah di terakhir malam pelukanmu lepas? Senyum getir sudut bibir. Aku mengapung pulang, sayang. Detik itu, aku mulai mengeja bayang.

Kemudian, sebuah subuh lalu. Kala kata penat semakin mengerat. Tiba-tiba namamu dalam doa. Masih pantaskah aku berharap kau bahagia? Ya! Disana.

Kukulum perdu atau bunga yang ke sekian kusesap. Adalah isyarat bahwa kau pernah nyata. Teruslah berjalan! Hingga sahaja datang padamu.