Selasa, 16 Agustus 2011

Rahasia: TU(H)AN



 Tuan

Ya Tuan,
Kembali dan tak kembali.
Segala alpa mungkin juga nista.
Adakalanya, keharusan sebuah sejarah hanyalah setumpuk masa lalu tak perlu.
Tak bisa di ubah.
Sejengkal mengarah. Bernanah
 lalu memerah.
Menganga bak lubang neraka.
Apa yang sebenarnya terjadi, Tuan?
Apa mungkin sebuah doa bisa menenggelamkan raksasa luka?


Tuhan

Sebuah konspirasi semesta;hamba bisa bersapa.
Sekedar dekat, meskipun tak erat.
 Jari-jari ini masih terus mengeja iba. Bahkan (kadang) lupa cara tengadah.  
Sibuk mengurus tuan-tuan malam. Lalu lupa langkah.
Jangan biarkan aku lalai, Tu(h)an! Lalai pada caraku mencintaimu.

Jumat, 29 Juli 2011

Aku Perempuan Biasa

: arcotransep

Sepasang kaki ini;
akan lebih sempurna,
bila aku berdiri di bagian bumi tempatmu berpijak.

Sepasang mata ini;
adalah keindahan paling lagu,
bila melihatmu di sisi tak perlu menjauh kembali. 

Sepasang tangan ini;
belum lengkap tanpa pelukan,
kedamaian tertunda dari erat genggaman.

Anggaplah, aku perempuan biasa paling bisa;
mampu membingkai hatimu dari kepingan-kepingan luka tanpa sisa.


- malam penuh rindu setandu 19:30

Sabtu, 23 Juli 2011

Sepotong Sajak Kecil Untukmu, Cinta

: arcotransep

Jika kau bertemu Tuhan dalam tidurmu nanti. Tolong titip satu pertanyaanku. Apakah Ia membuatmu dari zat candu?

Kita, memenuhi hikayat dengan menyulam hari-hari sepenuh rindu. Memintal puisi-puisi lalu yang terpahat sempurna.
Apakah aku masih harus bersamamu, untuk menggenapi yang telah tertulis dalam pencarian tentang mata hati?
Alunkanlah senandung itu. Sebuah lagu yang tercipta dari sekumpulan nada mayor dan minor berjagakan sederet syair tentang kisah cinta kita.

Biarlah aku terhanyut dalam alunan melodimu, dan biarlah aku mengerti tentangmu, tentang dunia yang menjadikanmu ada. 




- Flamboyan, B 32  23:10

Sabtu, 12 Maret 2011

UNTITLE


Lekas! Di tatap pertama matamu, kerinduanku menyaru. Mengatakan hal yang harus kau tahu. Aku memilih berhenti. Tak sanggup memeram rindu sendiri.

Kamu. Membiarkan aku di tampar-tampar sepi. Sungguh, tak sanggup menahan lebih lama. Terus melepuh. Dari sekadar kataku yang tak pernah ampuh.

Aku hanya ingin selesai. Dari hari-hari mengejawantahkan alpa akan basa-basi.

Senin, 14 Februari 2011

Musafir

*untuk siapa pun yang tengah meraya bahagia, apalah itu valentine, di antara ribuan jiwa-jiwa sepi yang masih menadah segenggam cinta. Ya! Hanya sejumput kecil. Tak perlu banyak. Karena selebihnya sudah tersimpan lama di dada tanpa tahu pemiliknya.

Aku sang pengembara. Meretas batas dan absurditas hakiki. Bangun dan
berdiri sendiri dengan kaki-kaki kecil yang mungkin saja suatu waktu rapuh
lalu lunglai luluh lantak. Tak peduli kejam gerigi jalanan.
Kau lihatkah? Garis kaki langit masih sangat jauh dalam selayang pandang.
Jutaan tragedi bisa saja terjadi kapan Ia mau. Kunfayakun itu hukum pasti. Hak paten yang terpatri sempurna.

Akulah si tukang potret. Hanya mengambil gambar diri. Satu-satu di tiap tapak tempuh.
Menunggu pasrah malaikat maut mencetaknya pada tarian
lembar buku dosa. Seumpama aku alpa. Ia lebih tahu bahkan dari sekedar yang aku tahu.

Lalu aku membayangkan, kelak, pada suatu masa, kembara terhenti. Ke’aku’anku lenyap. Demi dewa-dewi yang Agung, nyanyikanlah tembang kedamaian di pusaraku. Mengenang gairah hidup sang musafir kata. Aku.

Setengah perjalanan pulang, 17:00 pm

Selasa, 08 Februari 2011

Kiriman Sajak




(i)                  HIDUP adalah buku, kita tak tahu judul dan jumlah halamannya, kita menulis seperhalaman, menulis dengung jadi lagu.

(ii)                HAI, Gogh! Aku bawakan kanvas yang luka. Kau, lukiskan saja di situ setengah malam kita, dengan cat hitam yang encer saja!


 Ps:  dua diantara banyak sajak yang belum sempat saya cari dari ribuan mention di twitter, dimana bung Haspahani sempat membuatkan sajak untuk saya setelah saya mengirim #SatuKata padanya.



Jumat, 04 Februari 2011

SEKEDAR

        *El

Maafku. Enggan menemani sekedar ajakan yg kau kirim lewat sebuah pesan sederhana. Aku takut, takut merasa hal sama.

Kelu pun bahagia, dalam satu waktu. Sakit, menahan rindu meletup-letup seperti popcorn di wajan panas. Aku bisa apa? Parasmu saja aku lupa.

Ingatkah di terakhir malam pelukanmu lepas? Senyum getir sudut bibir. Aku mengapung pulang, sayang. Detik itu, aku mulai mengeja bayang.

Kemudian, sebuah subuh lalu. Kala kata penat semakin mengerat. Tiba-tiba namamu dalam doa. Masih pantaskah aku berharap kau bahagia? Ya! Disana.

Kukulum perdu atau bunga yang ke sekian kusesap. Adalah isyarat bahwa kau pernah nyata. Teruslah berjalan! Hingga sahaja datang padamu.