Jumat, 21 Januari 2011

YTH: Pencuri Kata (Bukan Pencuri Imajinasi)




#30HariMenulisSuratCinta
Day -8


Hey, maling kata...

Tolong, sebelumnya bedain dulu antara maling kata dengan maling sia! Jadi, enggak bakalan elo temuin hubungannya sama Nurdin Halid turun atau tetep ngeyel bertahta, disurat ini. Entah, apa yang ada di benak gue so bisa-bisanya kepikiran menulis surat cinta ini ke elo. Wait, ini bukan surat cinta ding! Yah, cuma tetep aja ini surat gue tujuin buat elo. Sumpah yaa, gue bosen liat linimasa (bahasa gaulnya timeline) atau news selewat dimanapun itu, tentang elo. Perhatian gue tertuju pada salah satu penghuni akun “cericau” (cericit meracau: sebutan gue untuk twitter. Baru sekarang aja sih nyebutin begitu) bahwa alphabetic jumlahnya emang 26. Kita mo ngembangin sampai berjuta-juta lembar tulisan, berjam-jam bicara, intinya ya cuma nguplek-nguplek  huruf a-z. Makasih banget buat @dhanzo. Sory tadi pagi enggak sengaja baca pas signing akun twitter gue. Tuh, elo musti berterimakasih juga ama dia.
FYI. Sadar atau tidak, tahu atau pura-pura, sebuah plagiarisme adalah kesalahan besar. Mungkin. Barangkali loh ya. Suatu saat gue juga bisa mengalami hal serupa kayak elo. Kebetulan punya ide yang sama dengan seseorang yang udah lama mencetuskannya, padahal kenal juga kagak, tiba-tiba dia protes terus melampirkan bukti bahwa gue seorang plagiat. Tok, tok, tok... Amit-amit deh, semoga enggak.
Berproses bersama kreatifitas, keluar dari dimensi pikiran orang kebanyakan, itu yang harus elo latih. Okey! Anggep aja gue “belagu”. Tapi begitulah aturan main menjadi penyair, penulis, de el el. Gue juga belum bisa kok memenuhi kaidah itu secara sempurna. And... Bicara tentang imajinasi, ia lebih penting dari pengetahuan, karena pengetahuan itu terbatas. Dan bagi gue “ide” itu kasat mata. Hanya orang indigo yang bakalan tahu dalamnya alam pikir orang lain. Nah! Sederhana kata, kalau sampai ada orang yang menulis dengan bahasa dan kata yang sama (sebagian atau seluruhnya), jelas enggak mungkin kan?
Terserah mau buang ini surat ke got atau lo cemplungin ke kolam. Masa bodoh. Yang penting, jangan lagi-lagi deh. Daripada elo dipermalukan sebangsa dan setanah air. Di arak keliling kampung plus ditelanjangin. Selamat berinstropeksi. Selamat berkarya. Gue doain elo bisa jadi penyair/penulis handal masa depan. Chayo!!!


Ps:  kalo ada kata-kata yang elo enggak terima, atau malah justru kurang menohok lo, bisa hubungi Nurdin, beb... buat complain.


.secred admirer.



Kamis, 20 Januari 2011

Surat Untuk: Galau (Yang Tak Pernah Aku Adopsi)


#30HariMenulisSuratCinta
Day -7


Kepadamu yang sibuk wara-wiri tak jelas dipelataran waktuku. Seolah-olah aku menganggapmu saudara. Kenapa selalu kembali? Sebagai ziarah panjang keheningan. Semacam skenario langit dan bumi untuk membuatku kacau. Hampir menyentuh batas risih. Aku tak butuh! Ih... iya deh aku jujur. Sorry, aku ulangi. Bisa ya, bisa tidak. Tergantung caraku menghadapi pilihan. Tetapi, aku tak ingin melulu bicara soal cinta. Aku hanya ingin mensyukuri tiap perjalanan. Seperti yang pernah kubaca dari buku tetangga, ia menulis: “ Jika cinta datang  berkali-kali di dalam kehidupan seorang manusia, maka bersyukurlah ia yang dijauhkan dari tak punya rasa dan tak punya naluri bercinta.

Lalu, kini, kamu datang bersama kegelapan mengelilingiku hanya karena sebuah cinta. Apa akan kubiarkan saja? Tidak. Aku minta, bawa aku menuju gradasi terang. Kirimkan aku benang-benang halusmu agar bisa merangkak keluar. Aku memang butuh merenung. Tapi tidak sekarang!


Rabu, 19 Januari 2011

Si Gadis Berkuncir Merah

#30HariMenulisSuratCinta
Day -6

Malam ini! Kesekian kalinya, insomnia bak tamu harian. Datang tanpa permisi. Merayu pergi. Tentu saja, hanya sekedar mencari secangkir kopi dan sedikit keramaian. Tak perlu berlebihan. Tak perlu kejauhan. Berkejaran dengan deadline presentasi kakak besok pagi.
Angin agaknya membebaskan akal liarnya. Dingin. Kamu tiba-tiba menggamit lengan, melambaikan iba dari saku atau dompet coklat yang kakak bawa. Dilampu merah yang labil itu mata tertawan. Mengingatkan pada Esti, bocah kecil yang suka dongeng kakak dipengungsian. Maaf, kakak tak biasa memberi segenggam koin. Bukan karena tak mau atau tak mampu. Gadis sepertimu masih punya harapan, nak. Kalau malam-malam begini kamu masih sibuk disini, bagaimana sekolahmu besok? Kakak tahu yang duduk dipojok sedang asyik main kartu itu orang tuamu. Kadang tertawa terbahak, menunggu hasil jerih payahmu, lalu pedulikah ia?
Andai kakak punya kesempatan mencuci, menyisir, lalu memberi pelembab dirambutmu itu. Agar leluasa menari mengikuti irama langkahmu. Pasti kamu makin cantik. Kuncir merahmu itu lucu. Kumal tetapi membuatmu menawan.
Di angkringan langganan, kakak sengaja pesan beberapa plastik teh panas dan nasi kucing untukmu serta temanmu. Entah, lebih suka memberimu ini. Kakak suka senyummu saat dipanggil. Selamat makan ya. Jangan sampai orangtuamu tahu, ada lembaran uang yang kakak selipkan dibungkus nasimu. Itu jatah uang jajan juga tabunganmu. Terima kasih atas setengah jam yang kamu sempatkan. Lain kali kita cerita soal cita-cita. Besok kalau ada waktu, kakak belikan buku yang kamu butuhkan itu di toko buku shopping. Dengan catatan kalau ada loh ya... Selamat tidur gadis kecil. Selamat menganyam harapan.


Selasa, 18 Januari 2011

Wahai Hujan: “ Jangan Marah Terus Ya, Nenek Sudah Renta... ”




Eks:
            Lyric : Hujan Jangan Marah – Efek Rumah Kaca

Lihatkah? Aku pucat pasi, sembilu hisapi jemari
Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara... aah...
Yang sedih aku letih

Dengarkah? Jantungku menyerah, terbelah ditanah yang merah
Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering... aah...
Melemah dan melemah

Hujan, hujan jangan marah...aah... aah...
(instrumental)
---------------------------------------------------------------------------

#30HariMenulisSuratCinta
Day-5


Hormatku, dewa hujan...
Dari balik jendela usang  di rumah kayu yang hangat rancanganku sendiri. Tempat dimana aku mengintip rintik cantikmu dicelah ruas perapian. Tinggal beranjak sedikit, menunggumu di beranda kecil kesayangan. Ditemani cericit si burung parkit, sang teman setia dipucuk ranting cemara.

Merindu  petrichor, bau khas ilalang dan wangi tanah basah sesaat kehadiranmu. Ah, kamu pasti hapal apa yang aku suka. Kamu boleh menghadiahkannya padaku, kapanpun kamu bersedia. Deal ya? Namun demi masa, kini aku semakin renta. Keriput dan uban adalah nyata adanya. Aku dan kakek lebih menyukai pelukan. Hanya begitulah kami saling berbagi kehangatan. Tentu selain seduhan teh serta kue empuk low sugar. Juga buku-buku, kacamata tebal, celoteh riang bocah. Kau tahu? Cucu-cucuku senang sekali kalau pelangi kau ajak turut serta ke bumi. Kau seakan doaku yang dikabulkan Tuhan lewat alur liarmu. Aku mencintaimu, hujan.
Sewaktu malam kamu datang. Kami pun kedinginan. Walaupun sweater dan syal bertumpuk melilit raga, tapi entah kurang menolong. Kenapa akhir-akhir ini kamu semacam sedang menumpah marah? Mungkin kamu terprovokasi ingin menguji romantisme kami ya? Uhuk, ku beritahu sesuatu. Dengan atau tanpa kamu, genggaman tangan kami akan terus menyatu. Sepasang cincin yang melingkar dijari manis kami memang sudah kusam, tetapi cincin ini saksi bisu dihari suci perkawinan setengah abad lalu. Yang berhak memisahkan, hanyalah peti mati. Tentu saja, kalau didalam sana kamu tak bisa melihat senyum ompongku. Tetapi kuyakin, kau tak akan pernah meninggalkanku.

Jangan marah lagi seperti hari-hari kemarin, ya sayang. Aku sudah tua. Sebarkan kedamaian. Rasakan detak cinta kami padamu. Titip salam buat raja petir dan ratu pelangi ya... Aku suka kolaborasi warna-warni keindahan yang kalian punya.


Uhuk. Aku si pecinta hujan. 




Senin, 17 Januari 2011

Inspirasi Damai Ala Penjual Lekker

#30HariMenulisSuratCinta
Day -4


Fajar merah, begitu pun senyum itu merekah. Tersungging jelas disudut bibir kuyu.
Topi lusuh dan gerobak gendong reot berisi cetakan, pisang bertandan, plus toples-toples berisi gula pasir dan coklat meises. Juga masih yang itu-itu saja.
Kau tahu kawan, betapa ingin selembar surat cinta sederhana ini ku sampirkan dicelana muram miliknya.
Aku pikir, entah kapan ya hari ulang tahun ada dalam hidup si bapak. Ah! Boro-boro. Di umur sekira enam puluh lima, hari lahir tak pernah menjadi penting.
Aku bertemu kembali di hari Minggu pagi. Ditengah hiruk-pikuk orang sibuk ber-jogging mengitari alun-alun kota. Ya! Yang kami punya hanya ini. Alun-alun. Maklumlah, kota kelahiranku memang kecil. Saking kecilnya, bisa tak kau temukan dalam lembar peta yang kau beli Jenderal!
-----------------------------------------------------------

Sugeng makaryo, pak Prapto.


Sapaan lemah bapak pagi kemarin mengagetkan saya. Masih teduh, semangat, dan langkah kaki bapak tetap terlihat ringan. Keajaiban. Sungguh, kok masih ingat? Walaupun nama Ayah saya. Enggak masalah kok, pak.

Bagaimana kabar bapak? Kabar istri dan anak-anak sehat kan?

Maaf, saya hanya pesan kue lekkernya lima buah. Untuk mengobati rindu akan aroma manis yang meruap dari cetakan panas itu. Sekedar nostalgia dua puluh tahun lalu. Waktu seragam sekolah Taman Kanak-kanak masih suka bau ompol. Kemana-mana pake iringan pembantu. Terimakasih banyak ya pak, dulu pernah nemenin saya berjam-jam lamanya, gara-gara Ayah lupa jemput.

Tetapi, dua tahun yang lalu saya pernah melihat bapak di depan gerbang kantor Mama. Saya tergesa, jadi tidak sempat menghampiri. Sekali lagi mohon maaf.

Ngomong-ngomong, sekarang harga satu buah kuenya kok masih murah? Dua puluh tahun lalu memang dua puluh lima perak sebiji. Jika dijaman yang serba susah begini harganya dua ratus perak, bagaimana menghitung keuntungan?  Ah, bapak memang selalu merakyat. Tidak semata-mata mengejar materi. Itu yang saya salut pak.

Lebih salut lagi, andai kawan- kawan saya tahu sekelumit cerita hidup bapak. Anak-anak yang berjumlah empat. Hanya dari jualan kue lekker, semuanya sarjana. Bahkan bapak malah memberitahu kalau ada yang sedang melanjutkan Master diluar negeri. Hebat!

Saya beranikan diri, bertanya sekali lagi. Kok tak berniat istirahat dirumah? Menghabiskan masa tua bersama cucu. Jawaban bapak lagi-lagi cukup menyentuh nurani. “Enggak biasa menganggur. Malah pusing kalau diam. Sing penting disyukuri kemawon. Anak-anak sampun mapan. Tapi nggih niku, mencar-mencar. Kathah ingkang bidhal  luar jawa.”. “Sampun lah, kulo tenggo griyo kemawon. Wonten Purworejo kan wiwit lahir ngantos sak punika”.

Subhanallah. Dalam hati saya menangis. Benar! Berdamai, disini kuncinya. Berdamai dengan kehidupan. Pandai mensyukuri satu nikmat, sekecil apapun. Tak semua hidup berlangsung istimewa. Terima kasih sekali lagi, pak. Bapak mengajari saya hari ini. Bahwa kita harus menikmati sebuah proses, dan seluruh episode dalam hidup. 

Daripada saya tergugu disitu, lalu saya pamit, dan maksud hati membayar kue dengan uang berlebih tanpa berharap kembalian. Kenapa bapak menarik tangan saya? Saya ikhlas. Tanpa maksud apapun. “Kalau rejeki kulo memang segini, ya segini saja kulo terima”. Kata-kata bapak masih saya ingat. Dan saya menerima uang kembalian dengan tangan gemetar. Semoga Tuhan selalu melindungi bapak dan keluarga. Dan menggolongkan bapak dalam golongan kaum yang mulia.


Takzimku, pak Prapto.
-anak kecil yang dulu pernah lupa membayar dua kue lekker dagangan bapak-


Minggu, 16 Januari 2011

KATA SEDERHANA UNTUK BESAR CINTA, MY SUPER MOM...


#30HariMenulisSuratCinta
Day -3

A creation born of grace.
She is aware that the Prayer is unbreakable asset, too precious to be exchanged for any worldly goods.
There was no shortage in there, all is perfection.

Unlike God, there is no human is perfect.
One example of such sin is anger.
It is therefore important that we find people with whom we can relate to in away which nurtures us.
Coming to my mother with our burden can be a very healing experience.
Now, i believe have grown to be a slightly better and more tolerant person.

Thank to my Mom, Suhartati Sudibyantoro J. That has raised me.
Even eyes seem to dry for tears have all dropped.
I love u, Mom. A million of love....


-kakak-




Sabtu, 15 Januari 2011

#KepadaA

DETIK INI, TUJUH HARI LALU

Aku dan kamu diperaduan sebuah cawan. Lupa letih. Lupa pejam. Setelah sekian waktu nilai keangkuhan menang telak, lalu memutus bentang jarak. Kita saling membisikkan mantra. Menerawang toples masa depan. Menganyam kisah, lembar demi lembar. Mencipta jejak tubuh senti demi senti. Rongga bahagia sempurna.

Bib. Bib. Bib....

Semacam nada panggil pesan sebuah messenger. Pertama aku memanggilmu dengan sapaan serupa. Orang-orang sibuk membuat komentar pada halaman jejaring sosial kita, lalu menertawakannya. Tapi kita acuh, malah makin suka.

#KepadaA. Siapakah dia ini? Umm..., bukan tokoh baru dalam hidupku. Dibilang lama juga tidak. Namanya “pria abu-abu”. Aku menyebutnya begitu karena beberapa alasan yang tidak mungkin terlampir. Adalah lelaki istimewa dalam kurun waktu sepuluh bulan ini.

Di pelataran cafe Empire XXI, dibawah sayu payung hitam. Aku tertegun. Kehangatan mengalir di jelajah nadi. Mungkin, aku salah dengar. Aku tajamkan seluruh indera. Seketika, aku merasa kembali bertemu asa baru. Sisa gairah hasil kontemplasi berbulan-bulan dalam gelap kejam. Dia bilang, sayang padaku.

Hari-hari penuh dering rindu. Jutaan pesan cinta. Lebih-lebih, adaptasi dengan keluargaku singkat, mengena, dan tajam. Aku menemukan sisi-sisi warna indah (yang semoga) tak pernah buram ataupun purna. So far, dia masih bertahan di satu ruang hati hingga detik nafas ini. 

Namun pernah pada suatu masa, aku terjerumus bara. Kesalahan memahami kenangan. Hingga tubuhnya melayang-layang, seperti menari dalam kesunyian. Seakan tak bisa meraba apa yang aku pikirkan, ia hanya meninggalkan bayangan. Tiba-tiba semua hitam. Abu-abu. Hitam. Abu-abu. Abu-abu. Ya! Seterusnya. Oh come on, Bib. Give me a better reason. Tak. Rupa bisu itu tetap mengendap. Aku tanggung berminggu-minggu. Tidakkah egomu, sedikit tersentil dear? All you have to do is just pick and choose. That easy. Dan aku terus menunggu, menunggu, menunggu. Sejuta penjelasan dan cara dianggapnya sampah basi. Geram? Sudah tentu!

Beruntung, semua lekas berlalu. Ingin kembali mencium kening dan punggung tangan yang aromanya tak bisa ku lupa. Aku sayang kamu, bib...