#30HariMenulisSuratCinta
Day -4
Fajar merah, begitu pun senyum itu merekah. Tersungging jelas disudut bibir kuyu.
Topi lusuh dan gerobak gendong reot berisi cetakan, pisang bertandan, plus toples-toples berisi gula pasir dan coklat meises. Juga masih yang itu-itu saja.
Kau tahu kawan, betapa ingin selembar surat cinta sederhana ini ku sampirkan dicelana muram miliknya.
Aku pikir, entah kapan ya hari ulang tahun ada dalam hidup si bapak. Ah! Boro-boro. Di umur sekira enam puluh lima, hari lahir tak pernah menjadi penting.
Aku bertemu kembali di hari Minggu pagi. Ditengah hiruk-pikuk orang sibuk ber-jogging mengitari alun-alun kota. Ya! Yang kami punya hanya ini. Alun-alun. Maklumlah, kota kelahiranku memang kecil. Saking kecilnya, bisa tak kau temukan dalam lembar peta yang kau beli Jenderal!
-----------------------------------------------------------
Sugeng makaryo, pak Prapto.
Sapaan lemah bapak pagi kemarin mengagetkan saya. Masih teduh, semangat, dan langkah kaki bapak tetap terlihat ringan. Keajaiban. Sungguh, kok masih ingat? Walaupun nama Ayah saya. Enggak masalah kok, pak.
Bagaimana kabar bapak? Kabar istri dan anak-anak sehat kan?
Maaf, saya hanya pesan kue lekkernya lima buah. Untuk mengobati rindu akan aroma manis yang meruap dari cetakan panas itu. Sekedar nostalgia dua puluh tahun lalu. Waktu seragam sekolah Taman Kanak-kanak masih suka bau ompol. Kemana-mana pake iringan pembantu. Terimakasih banyak ya pak, dulu pernah nemenin saya berjam-jam lamanya, gara-gara Ayah lupa jemput.
Tetapi, dua tahun yang lalu saya pernah melihat bapak di depan gerbang kantor Mama. Saya tergesa, jadi tidak sempat menghampiri. Sekali lagi mohon maaf.
Ngomong-ngomong, sekarang harga satu buah kuenya kok masih murah? Dua puluh tahun lalu memang dua puluh lima perak sebiji. Jika dijaman yang serba susah begini harganya dua ratus perak, bagaimana menghitung keuntungan? Ah, bapak memang selalu merakyat. Tidak semata-mata mengejar materi. Itu yang saya salut pak.
Lebih salut lagi, andai kawan- kawan saya tahu sekelumit cerita hidup bapak. Anak-anak yang berjumlah empat. Hanya dari jualan kue lekker, semuanya sarjana. Bahkan bapak malah memberitahu kalau ada yang sedang melanjutkan Master diluar negeri. Hebat!
Saya beranikan diri, bertanya sekali lagi. Kok tak berniat istirahat dirumah? Menghabiskan masa tua bersama cucu. Jawaban bapak lagi-lagi cukup menyentuh nurani. “Enggak biasa menganggur. Malah pusing kalau diam. Sing penting disyukuri kemawon. Anak-anak sampun mapan. Tapi nggih niku, mencar-mencar. Kathah ingkang bidhal luar jawa.”. “Sampun lah, kulo tenggo griyo kemawon. Wonten Purworejo kan wiwit lahir ngantos sak punika”.
Subhanallah. Dalam hati saya menangis. Benar! Berdamai, disini kuncinya. Berdamai dengan kehidupan. Pandai mensyukuri satu nikmat, sekecil apapun. Tak semua hidup berlangsung istimewa. Terima kasih sekali lagi, pak. Bapak mengajari saya hari ini. Bahwa kita harus menikmati sebuah proses, dan seluruh episode dalam hidup.
Daripada saya tergugu disitu, lalu saya pamit, dan maksud hati membayar kue dengan uang berlebih tanpa berharap kembalian. Kenapa bapak menarik tangan saya? Saya ikhlas. Tanpa maksud apapun. “Kalau rejeki kulo memang segini, ya segini saja kulo terima”. Kata-kata bapak masih saya ingat. Dan saya menerima uang kembalian dengan tangan gemetar. Semoga Tuhan selalu melindungi bapak dan keluarga. Dan menggolongkan bapak dalam golongan kaum yang mulia.
Takzimku, pak Prapto.
-anak kecil yang dulu pernah lupa membayar dua kue lekker dagangan bapak-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar